Balada Pengkhianatan Ekologis - Sajak Aksara

Balada Pengkhianatan Ekologis

Balada Pengkhianatan Ekologis

Di atas tanah yang dulu menumbuhkan sagu dan kopi, kini berdiri pabrik-pabrik pemrosesan nikel yang tak mengenal siang dan malam. Di balik janji industrialisasi, tersembunyi tragedi ekologis yang belum selesai dituliskan.

Pendahuluan: Antara Logam Strategis dan Luka Kultural

Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, tengah mengalami transformasi struktural dalam lanskap industrinya. 

Di tengah gegap gempita transisi energi global dan desakan produksi kendaraan listrik, nikel menjadi kata kunci dalam diplomasi ekonomi dan industrialisasi nasional. 

Namun, dalam tafsir ekologis dan kultural, yang sering kali luput dari wacana publik dan politik negara, eksploitasi nikel justru menghadirkan satu bentuk balada kontemporer: bukan dalam bentuk irama kemenangan, tetapi dalam simfoni luka ekologis, sosial, dan budaya yang saling bersahutan.

Balada ini bukan fiksi. Ia menjelma dalam bentuk hutan gundul di Konawe Utara, sedimentasi berat di Teluk Weda, hingga konflik lahan antara warga adat dan korporasi tambang di Halmahera. 

Di ruang-ruang akademik, ini seharusnya tidak sekadar dibaca sebagai fenomena ekonomi ekstraktif, tetapi sebagai narasi ekologis-politik yang menyimpan ironi dalam setiap lapisannya.

Baca juga:

Nikel sebagai Simbol Kapitalisme Ekstraktif

Sebagai lulusan sarjana hukum di Universitas Islam Indonesia, saya melihat nikel bukan hanya sebagai unsur kimia atau komoditas global. 

Ia merepresentasikan wajah kapitalisme ekstraktif, sebuah pola pembangunan yang tak mengindahkan keberlanjutan. 

Fokus utamanya bukan pada pelestarian jangka panjang, melainkan pada percepatan perolehan keuntungan, penguasaan oleh pemodal besar, serta tersingkirnya masyarakat lokal dari ruang hidup mereka sendiri.

Proyek hilirisasi yang digadang-gadang sebagai langkah strategis negara, dalam praktiknya sering kali menampilkan wajah yang paradoksal. 

Di satu sisi, negara hadir sebagai fasilitator investasi dan deregulasi; di sisi lain, negara absen dalam menjamin keadilan ekologis dan proteksi sosial terhadap masyarakat terdampak. 

Bagi para pemodal, tambang ibarat ladang emas yang menjanjikan keuntungan besar. Namun, bagi pemilik hak ulayat, tanah itu justru berubah menjadi ruang keterasingan dari warisan leluhur mereka.

Dalam konteks ini, balada nikel menjadi elegi dari tatanan relasi kuasa yang timpang. Negara dan korporasi membentuk duet hegemoni, sementara rakyat, tanah, dan bahasa lokal hanya menjadi dekorasi dalam dokumen-dokumen AMDAL yang jarang dibaca dengan hati.

Puisi Ekologis: Menulis Luka, Membaca Bumi

Dalam dunia sastra, tragedi tambang nikel ini bisa dibaca sebagai bentuk puisi ekologis negatif: bukan puisi tentang keindahan alam, tetapi puisi tentang bagaimana alam diperlakukan secara brutal. 

Setiap ton nikel yang diekspor membawa serta serpih-serpih identitas lokal yang hilang: kearifan hidup, sistem nilai, hingga relasi spiritual antara manusia dan tanah.

Sastra memiliki kekuatan untuk menarasikan yang tak tertulis oleh laporan resmi dan media massa. Dalam balada ini, kita dapat mendengar suara minor yang nyaris hilang—suara burung maleo yang tak lagi bersarang, suara perempuan yang kehilangan air bersih, dan suara anak-anak yang tak bisa lagi berenang di sungai yang kini berubah warna.

Di sinilah letak pentingnya pendekatan sastra dalam analisis lingkungan. Ia memberi ruang bagi emotional ecology, yakni hubungan afektif manusia dengan lingkungannya yang sering kali terabaikan dalam pendekatan teknokratis pembangunan.

Menuju Epistemologi Kritis atas Pembangunan

Kisah kelam tambang nikel di Indonesia seharusnya menjadi momen reflektif untuk mengkaji kembali cara pandang kita terhadap konsep pembangunan yang selama ini kita puja tanpa banyak tanya.

Apakah pembangunan berarti pertumbuhan angka semata, ataukah mencakup keberlanjutan sosial, ekologis, dan kultural? Dalam kacamata ekokritik, pembangunan tanpa kesadaran ekologis adalah proyek destruksi yang dibungkus narasi kemajuan.

Kampus dan ruang akademik mesti menjadi ruang dialektika, bukan ruang amplifikasi propaganda industri. 

Kita perlu mengembangkan pendekatan transdisipliner yang melibatkan ilmu lingkungan, ekonomi politik, antropologi, dan tentu saja sastra, sebagai cara untuk menarasikan kompleksitas dari kerusakan yang tak selalu kasatmata.

Penutup: Dari Elegi ke Epik Perubahan

Balada nikel belum selesai ditulis. Kita masih berada di tengah narasi. Pertanyaannya: akankah balada ini berakhir sebagai tragedi, atau sebagai epik perubahan?

Jika keberlanjutan ekologis tidak menjadi fondasi utama kebijakan publik, maka nikel hanya akan menyisakan jejak karbon, bukan kesejahteraan. 

Jika suara komunitas lokal tetap dibungkam oleh jargon investasi, maka kita tengah menciptakan literatur bencana yang akan dibaca dengan penyesalan oleh generasi mendatang.

Namun, jika kita mulai menulis ulang cerita ini dengan tinta keadilan, pena keberlanjutan, dan kertas keberpihakan terhadap bumi, maka masih ada harapan bahwa balada ini bisa berganti menjadi simfoni restorasi.

Baca juga:

Balada ini saya tulis dengan kesadaran penuh atas apa yang terjadi di lingkungan saat ini. Beberapa diantaranya dari kebisingan digital.

Share:

Posting Komentar

Perjalanan Seru dari Kendari ke Pulau Kabaena

Perjalanan ini saya lakukan pada bulan Juli tahun 2023, saat cuaca di Sulawesi Tenggara sedang cerah-cerahnya. Tujuan utamanya adalah menda...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes