Gunung Merbabu, Semangat Hidup | Jurnal #6 - Sajak Aksara

Gunung Merbabu, Semangat Hidup | Jurnal #6

Gunung ini menjadi primadona untuk pendaki
Instagram @merbabumountain

“Hidup tak pernah memaksa kita menjadi apa yang orang lain inginkan, menjadi apa yang kita inginkan adalah hal terbaik untuk dilakukan dalam hidup”

Sebelum perjalanan pada gunung yang satu ini, gunung Sumbing telah kuejejaki untuk kedua kalinya. Bersama dengan rekan baru dan cerita baru tentunya. Semua gunung walau sudah didaki sebanyak apapun, akan beda cerita yang didapatkan pada setiap pendakian itu. Tidak akan ada yang sama sekali. Saya tidak menulis jurnal untuk kedua kalinya pada gunung yang sama walau cerita yang berbeda. Ada beberapa alasan mengapa tidak? Mungkin karena rasa malas, dan munkin juga faktor lain.

Pada akhirnya saya menulis jurnal pada gunung yang menjadi primadona bagi setiap pedaki di Indonesia. Bukan pendaki Indonesia saja, bahkan pendaki mancanegara sangat kenal dengan gunung yang megah ini.

Ini adalah pendakian yang terencana dan penuh dengan rencana yang matang. Walau sebenarnya alat alat pendakian yang akan kami gunakan masih relevan jauh dari sempurna. Alat dalam pendakian ini masih saja jauh dari kata sempurna seperti pendaki pendaki lainnya. Kami atau saya selalu mendaki dengan kesederhanaan. Bukan kesederhanaan juga sebenarnya. Akan tetapi kekurangan yang selalu dipakasakan ada dan terwujud.

“Pendakian bukan semata mata harga outfit yang ada, melainkan adalah kesadaran akan pentingnya keselatan pada diri sendiri ketika berada dialam bebas. Kita perlu tahu dengan pasti dengan pengetahuan yang memadai demi memahami keadaan. Percuma saja memiliki outfit alat gunung yang lengkap dan mahal tanpa sadar akan kenyamanan dan keselataman diri sendiri dalam pendakian. Buatlah pendakian senyaman mungkin dengan pengetahuan yang memadai (Aksara)”.

Perjalanan pada pendakian ini berawal pada rencana kami berlima untuk mendaki gunung Merbabu pada saat setelah UAS Semester dua yang lalu, Juli 2018. Karena memang saya berniat untuk mendaki sebelum sejenak pulang ke rumah untuk sekedar melepas rindu yang sebenarnya tak begitu ada.

Setelah mencari tahu perihal gunung yang cantik dan megah ini, saya tertegun dengan fakta pada gunung ini. memiliki keindahan dan sabana yang selalu memukau para pendaki. Sampai pada akhirnya gunung ini dijuluki sebagai rumahnya para pendaki. Sudah tidak terlepas lagi dari label tersebut. Semuanya tahu dengan fakta pada gunung Merbabu.

Berada tepat disamping gunung Merapi membuatnya semakin memukau semua mata keindahan. Menemani gunung Merapi hingga bumi ini layu dan tak berwujud lagi, janji yang takkan pernah di ingkarinya. Asrama mereka berdua tidak akan habis dimakan waktu, tak akan habis untuk selama lamanya.

Aduh, saya begitu kagum dengan kegagahan gunung Merbabu sampai saya lupa jika pernah menjamahinya.

Gunung ini memiliki empat jalur komersial yang sah dan dibolehkan oleh petugas untuk dilewati para pendaki. Dan kami memilih jalur yang memiliki keindahan Sabana diantara jalur yang lain, yaitu jalur Swanting. Yang terpenting untuk kami adalah keindahan yang akan disusguhkan tanpa mencari tahu sesulit apa nanti jalur yang akan kami lewati nanti.

Lagi dan lagi, saya dan teman teman yang lain berangkat dari Jogja menuju basecamp Swanting pada pagi hari pukul delapan. Pada tahun 2018 untuk pendaftaran gunung Merbabu masih belum menggunakan sistem online. Beda lagi pada tahun 2019 saat saya menulis jurnal ini. Kalian pasti sudah tahu pada perubahan itu dan mengapa.

Sesampainya kami di basecamp dan mengurusi simaksi pendakian, kami langsung melakukan pendakian dengan jalur awal seperti biasa, disekeliling dipenuhi oleh tanaman petani yang berupa tembakau, bawang, dan beberapa sayur sayuran lereng gunung.

Pendakian ini menjadi pendakian yang membuatku takut dan merasa was was. Bukan karena takut dengan keadaan diri sendiri seperti pada gunung gunung sebelumny. Akan tetapi dengan orang orang yang baru mendaki ini. dari kami berlima yang mendaki yang sudah pernah hanya kami berdua saja. Sedang yang tiga ini masih pertamakalinya menjajaki kakainya diatas gunung. Takut, jika saja terjadi sesuatu yang tak kami inginkan.

Dan pendakian ini tanpa orang yang bernama Yusta. Kenapa dengannya lagi? Sebab dipendakian sebelumnya selalu ada dia dan saya merasa aman aman saja selama pendakian. Dan kali ini saya harus menjadi orang yang diandalkan oleh yang lain, sebab mereka percaya jika saya sudah bisa diandalkan. Padahal itu hanya asumsi mereka saja, dan saya mengiyakan hal itu. sedangkan dalam hatiku berkata tida, saya takut dan kalut jika saja terjadi sesuatu dan saya tidak bisa menanggulanginya. Aduh, saya terlalu memaksakan keadaan dan keinginan ini.

Setelah bertanya pada orang orang yang sudah mendaki gunung Merbabu melewati jalur ini, ternyata ini adalah jalur yang bisa dibilang memiliki trek tersulit dibandingkan dengan jalur yang lain. Ah, ini membuatku semain takut dan kalut ketika membayangi jalur didepan sana. Jalan saja, tetap berpikir positif.

Baca juga: Estimasi, Tips dan Biaya Pendakian Gunung Merbabu Via Selo


Untungnya pada jalur ini memiliki sumber air pada setiap jalurnya. Ini cukup meredakan keadaan ketika melihat seorang dari kami muali merasakan genjotan jalur ini. tersengal oleh cahaya matahari yang muali naik keatas. Kami berisitirahat sejenak digerbang masuk pendakian. Dan kataku pada mereka, jangan sungkan untuk meminta istirahat, janagn memaksan diri jika sudah tidak mampu berjalan. Mereka mengiyakan hal itu, sampai sampai kami berjalan sepuluh menit dan beristirahat lebih dari itu. membuat perjalanan ini semakin lama dari normalnya pendakian lewat jalur Swanting.
Tidak ada hal yang parah dari ini semua setelah melewati beberapa pos dari bawah. Hanya ada suara tersengal dan lelah yang kulihat dari raut wajah mereka. Syukurlah, mereka masih bisa melanjutkan perjalanan samap pada pos tiga.

Mengibarkan bendera di atas puncak gunung masih menjadi tujuan pendaki
Instagram @merbabumountain

Semua suasana berubah seketika jalurnya mulai tak karuan bentuknya, semakin jauh kaki melangkah, semakin tak bersahabat jalurnya. Jangan mereka yang baru pertama kali mendaki gunung. Saya sendiri saja mengaku dengan jalur ini, benar benar parah. Apa yang sedang kusaksian didepan semakin membuatku takut dengan keadaan mereka. Satu diantara kami harus berjalan merangkak menaiki jalur yang tak begitu disebut sebagai jalu komersil pendakian. Ini lebih mirip dengan membuka jalur. Saya semakin merasa kasian dan rasa takut pada mereka, kuliahti wajahnya menjadi pucat muram dan berdiam diri. Nampaknya mereka sangat kelelahan dengan apa yang menimpa mereka.

“Berhentilah sejenak jika tak sanggup dan ambilah nafas” Sesekali saya mengatakan itu manakala melihat kondisi mereka mulai meredup pada pendakian ini.

Mereka tetap bersikukuh melakukan perjalanan, semakin lama mereka mulai terbiasa dengan jalurnya. Walau sebenarnya suara tersengal dari nafas mereka tak bisa ditutupi. Dan lagi langkah kaki mereka yang melamban dan gemetar itu tak bisa mereka tutupi dariku. Itu terlihat jelas.

Setelah sampai pada batas vegetasi pohon pinus saya berusaha menyemangati mereka. Jika pos tiga sudah ada didepan. Wajah mereka berubah seketika manakala kusuruh mereka untuk melihat dan menengok kebelakang untuk melihat lautan awan itu yang mulai berjingga. Tanpa diberi obat, raut wajah dari mereka berubah seketika. Teriakan rasa getir sedari tadi beruabah menjadi semangat. Gemuruh ria dan senang telah menghantui mereka saat melihat keindahan tersebut.

Kamipun berhenti sejenak sembari menonton apa yang sedang alam pertontonkan pada kami saat itu juga. Tak hanya menonton saja, beberapa dari mereka tak mau ketinggalan momen tersebut. Yang tadinya mereka sulit melangkah dan bergerak, kini tubuh mereka disibukkan dengan pose untuk memotret diri bersama keindahan alam tersebut.

Matahari sebentar lagi menenggalamkan diri dalam gelapnya malam. Kami bergegas melangkahkan kaki untuk segera sampai pada pos terakhir untuk mendirikan tenda. Setelah berjalan beberapa langkah. Langit sudah memadam pudar dengan warna jingga yang amat indah itu. kami berhenti sejenak menunggu maghrib selesai, sebab beberapa temanku pada pendakian sebelumnya. Lebih baik berhenti dulu berjalan dan menunggu maghrib berlalu, dengan beberapa faktor yang sampai saat ini masih menjadi tanya.

Kopi hangat kusuguhkan untuk mereka, kulihati wajah mereka satu persatu penuh denga rasa lelah. Dan saya yakin mereka masih bisa melanjutkan perjalanan ini, sebab tawa dan canda kami mulai ada ketika sudah berada pada ketinggian ini. beberapa jalur yang sulit dibawah juga sudah kami lewati, walau penuh dengan kesusahpayaan.

Perjalanan dilanjutkan setelah malam sudah benar benar menjadi gelap. Bersamaan dengan gelap itu, datanglah dingin yang mulai menyetubuhi kulit masing masing dari kami. Dingin yang merasuki ini tak sedingin dengan gunung lainnya. Walau begitu sama saja, tetap mampu membuat geraham atas dan bawah beradu satu sama lain.

Setelah berjalan selama dua jam, kami sampai pada pos empat. Dan disana ada bebera pendaki lain yang sedang mengisi air melalui pipa yang dialiri sedikit air. Kamipun bertanya, berapa lama lagi sampai pada camp ground. Dan jawaban yang diberian membuat kami semangat kembali menunaikan ibadah langkah kami. Katanya, setelah melewati bukit ini sudah camp ground. Dan benar saja, setelah merayapi bukit yang licin tersebut kami sampai pada tenda tenda yang telah berdiri kokoh dengan lampu dari senter pendaki yang ada didalamnya.

Raut wajah dari mereka, bukan saja mereka menjadi bangkit kembali. Benar benar perjuangan yang tak pernah membohongi hasil. Karena sudah dingin, kami tak ingin berlama lama diluar. Tenda didirikan bersamaan dengan makana malam yang sudah disediakan oleh teman kami yang jago masak itu. perut kenyang, matapun terlelap dalam tidur seketika. Kami benar benar dihinggapi rasa lelah setelah sepanjang hari berjalan.

Esoknya, mentari sudah menyapa tepat didepan tenda kami. Sungguh indah, tetap saja indah walau beribu kali menatap itu. tak akan ada habisnya dengan keindahan itu, taka da waktu kadaluwarsanya.
Setelah melakukan ritual pendakian, mengabadikan momen melalui kamera. Sesegera mungkin kami menuju puncak. Sebenarnya kaki kaki kami masih terasa pegal dan sakit akibat dihantam oleh jalur dibawah kemarin. Mau bagaimana lagi, perjalanan tetap kami lanjutkan.

Walau jalur tak separah kemarin, jalur masih tetap menyiksa dan membuat nafas tersengal sengal. Semakin jauh kami menapaki kaki, semakin habis dan memudar semangat kami. Bahkan diantara kami terlihat kembali memegangi lutut dan betisnya. Merintih sakit dengan wajah tersengal oleh matahari yang telah naik.

“Semangat, puncak sedikit lagi” Kataku pada mereka yang berada dibawah tatkala melihat mereka berhenti dan tersengal oleh lelah.

Sengaja jalan kupercepat didepan mereka. Agar segera di susul. Benar saja dengan apa yang saya lakukan. Walau keadaan tersengal dan rasa lelah yang menyerang, mereka tetap saja memaksakan untuk tetap sampai pada puncak didepan sana. Walau sebenarnya ini adalah hal jahat yang pernah kulakukan dalam pendakian. Mau bagaimana lagi, jika tidak begini, mereka akan menyerah dengan keadaan yang sebenarnya masih bisa dilewati.

Langkah kaki mereka semakin mengecil bersamaan dengan suara nafas yang semakin tersengal sengal. Saya tidak begitu yakin dengan ini, padahal puncak sebentar lagi sampai. Seruan semangat terus saya seroki pada mereka dari atas.

Seruan itu tidak menjadi seruan semata. Ternyata memiliki energi dan kekuatan tersendiri. Lihatlah betapa bahagianya mereka manakal puncak Tringulasi telah menatap mereka secara langsung. Rekah senyum mereka terurai dengan indah pada raut wajah itu. benar benar hal yang tak bisa kuduga. Saya kira ini akan menjadi kali pertama kami mencapai puncak. Ternyata perasaan itu hilang setelah kaki kami berada tepat pada puncak gunung Merbabu ini. sujud syukur adalah ritual untuk menggambarkan rasa gembiran kami.

Tidak ada yang tidak mungkin untuk dicapai. Semuanya bisa, tinggal bagaimana mengatur dan memberikan semangat hidup itu sendiri. Setiap manusia memiliki batasannya masing masing. Dan Yang Kuasa tidak akan pernah memberikan ujian melebihi batasan manusia tersebut. Kalahkan rasa lelah dengan semangat untuk hidup, tidak ada yang tidak mungkin selama nafas masih bisa bertaruh dengan hidup.

Setelah prosesi ritual selesai, kami menyegerakan turun ke basecamp. Tak ada yang lebih muda dari semua ini, kaki begitu cepat menuruni jalur itu. semuanya terasa mudah dan gampang. Hanya butuh waktu setengahnya saja ketika naik untuk turun sampai pada basecamp. Itulah kemudahan yang diberikan sesudah rasa lelah yang dilewati.

Pikiran kalutku menjadi hilang seketika kami sudah sampai dengan selamat tanpa terjadi sesuatu yang tak di inginkan. Ini benar benar diluar nalarku.

Share:

Posting Komentar

5 Gunung di Jogja yang Cocok untuk Pendaki Pemula, Lengkap dengan Tipsnya

  Kamu sedang mencari gunung di jogja untuk pendaki pemula? Kamu bisa membaca artikel ini agar tahu apa saja rekomendasi yang bagus. Tulisan...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes