Gunung Slamet, Belajar Tabah dan Sabar di Fase Krisis | Jurnal #12 - Sajak Aksara

Gunung Slamet, Belajar Tabah dan Sabar di Fase Krisis | Jurnal #12


pendakian gunung slamet jalur bambangan purbalingga

“Memasuki tahap melayani ego dengan sebaik mungkin, memenangkan perlombaan atas segala hal yang direnggut nafsu. Betapa banyak bahagia hilang, dilatar belakangi pendewasaan manusia menuju kemerdekaan berfikir”.

            Semakin hari, semakin banyak tuntutan di malam hari pada fikiran manusia. Ada banyak sekali tanya mengenai ini dan itu, tentang hidup dan bahagia. Membawa suasana malam semakin muram dan tak bisa di makan pulas sampai pagi. Bayangkan saja, manusia perlu memikirkan hidup bahagia esok hari. Padahal, maut tak pernah berunding tengah bahagianya manusia. Maut tak pernah memberi harapan lebih setelah kedatangannya.

            Sama halnya dengan tuisan di berita, manusia terbagi menjadi tiga fase kehidupan di dunia; pembuka, isi, dan penutup. Layaknya sebuah artikel dalam sebuah majalah, manusia perlu pembuka dalam menjalani hidup agar tahu bagaimana ia akan menjalani isi kehidupan, sebelum akhirnya ditutup oleh usia di akhir halaman.

            Rahim Rahim ibu pada wanita menjadi awal mula dimulainya kehidupan manusia, beda hal lagi dengan nenek moyang kita semua; Adam dan Hawa. Di dalam Rahim manusia mulai membuka hidup dengan ditiupkannya ruh oleh Yang Maha Kuasa. Mulai memberikan tendangan tendangan kecil pada ibu, sampai akhrinya menangis menatap dunia yang menyedihkan ini.

            Manusia tidak setakut itu, memberanikan diri hidup di dunia walau tak pernah menginginkan hal tersebut. Sayangnya, banyak yang hidup dengan keegoisan nafsu belaka. Mengharap lebih pada sebuah kehidupan di dunia. Seakan akan hidup abadi seperti Iblis yang tak pernah mati. Jangan heran, banyak manusia berperlikau iblis ketimbang iblis itu sendiri.

            Baiklah, terlalu jauh mengambil frasa pembuka pada jurnal kali ini. Setelah sekian purnama, akhirnya jurnal yang keduabelas ini bisa juga ditulis dan direalisasi dalam kalimat kalimat abstrak dibawah nanti.

            Sepenggal harapan.

            Perjalanan Panjang untuk bisa sampai di jurnal ini, banyak sekali pucuk pucuk drama yang perlu dilewati. Sampai pada akhirnya tertuang jua. Tidak seperti jurnal sebelumnya yang terbit tidak lama setelah perjalanan dilakukan. Beda hal lagi dengan jurnal ini, ada banyak sekali kesibukan atau kesok-sibukan penulis. Atau kasarnya malas untuk menulis jurnal lagi.

            November 2020.

            Dan akhirnya, penulis sampai lupa dengan tanggal dimana pemberangkatan pada pendakian kali ini. Sebelum memulainya, saya memang sudah merencakan hal ini dari jauh jauh hari sebelum pemberangkatan. Bahkan sebulan setelah pendakian ke gunung Lawu untuk kedua kalinya. Rencana pendakian kali ini memang benar benar terencana dan di jadwalkan setelah kegiatan magang selesai.

            Sesampai di akhir semester delapan ini, saya baru memulai menulis jurnal pendakian ini setelah kemalasan merenggut segalanya. Pendakian yang cukup melelahkan dan terbilang cukup jauh untuk sekedar motoran dari Jogja. Walaupun selama perjalanan, saya hanya duduk dibelakang dengan satu tas pendakian di bahu.

            Pendakian gunung Slamet menjadi salah satu impian dari semua jurnal pendakian ini. Pada pendakian kali ini, saya ditemani oleh enam orang. Dua diantaranya adalah orang yang mendaki bersama ketika ke gunung Lawu pada bulan sebelumnya. Kembali lagi, saya mengajak keduanya untuk menapaki kaki di atap Jawa Tengah tersebut.

            Pemberangkatan tidak bersama sama, saya perlu menunggu kawan pendakian yang menjadi teman satu kendaraan kali ini. Sedangkan empat orang lainnya berangkat lebih dulu ke basecamp Bambangan pada sore hari jam lima. Setelah menunggu lama, kami berduapun menyusul mereka pada jam sepuluh malam dari Jogja ke Purbalingga, Basecamp Bambangan. Sangat jauh dan melelahkan untuk perjalanan malam.

            Tidak perlu saya jabarkan berapa jam perjalanan tersebut dan betapa melelahkannya dengan mengendarai sepeda motor. Kami baru sampai di basecamp pada jam tiga subuh, dan ketahuilah mata sudah sangat mengantuk, sedangkan pagi nanti kami akan mulai pendakian. Tidak ada lagi tempat yang kosong pada saat itu untuk beristirahat. Ada banyak sekali pendaki lain yang sedang merebahkan diri.

            Sampai akhirnya, kami menemukan satu rumah warga yang digunakan pendaki untuk beristirahat. Tanpa berfikir Panjang, kami berdua segera tidur dan mengumpulkan segenap tenaga untuk mendaki pagi nanti. Perlu diketahui, keempat teman yang sudah berangkat lebih dulu tidak bisa saya hubungi saat di basecamp karena sinyal cukup buruk. Dan kami berduapun tidak tahu dimana mereka menginap pada saat itu.

            Paginya, kami berenam bisa berkumpul kembali (jangan tanyakan bagaimana bisa). Seperti biasa sebelum melakukan pendakian. Ritualnya adalah sarapan atau mengisi amunisi terlebih dulu sebelum peperangan dimulai. Sampai pada saat registrasi terjadi kegundaan, sebab kedua teman saya tidak memiliki surat sehat. Dan akhirnya, mereka berusaha mencari puskesmas terdekat untuk membuat surat sehat.

            Manipulasi dan bertindak cepat sebelum terik mencapai pada batasnya. Saya segera registrasi tanpa memikirkan hal tersebut, terlalu lama bagiku menunggu hal tersebut. Karena ramainya pendaki yang daftar untuk mendaki pada saat itu, petugas basecamp sampai tidak mengecek jumlah surat sehat yang saya berikan. Alhasil, kami berenampun bisa melakukan pendakian saat itu juga. Keduanya bisa dibilang ilegal pada saat itu. Kalau ini jangan ditiru.

            Memulainya dengan do’a adalah ritual terbaik di setiap kegiatan, tak terkecuali dengan pendakian gunung. Sebab segala sesuatu perlu disandarkan pada Yang Maha Kuasa. Selalu, di awal mula nafas dan jantung diberikan penetrasi yang luar biasa. Suara meredam segalanya dengan suara yang terengah-engah. Keringat mulai membasahi tubuh.

            Sebelum pos satu, sayapun mengalami hal yang tak saya duga sebelumnya. Kepala pusing dan perut mual, sepertinya perjalanan masih terlalu jauh dan terlalu dini untuk kembali pulang. Mungkin ini sebab karena kurangnya istirahat di perjalanan. Dengan kekuatan kata kata dari teman teman yang lain, sayapun kembali bangkit dan melawan rasa lelah.

            Tidak ada hal yang pasti di jalur, hanya ada pendaki dan basa basi sekedarnya. Menanyakan jarak pos selanjutnya. Di hampir setiap pos kami membeli jajanan khas gunung; gorengan, buah buahan dan es teh tentunya. Selain menyegarkan stamina kembali, ini juga melariskan jualan para pejuang rupiah di gunung Slamet.

            Sesampainya kami di pos Samarantau, suasana sedikit berbeda dengan hawa yang ada di pos pos sebelumnya. Disini terasa lebih pengap dan teramat sepi. Bulu kuduk menjadi berdiri, tetapi kewarasan perlu dijaga ketika berada di jalur seperti ini. Buat para pendaki pasti sudah tahu dengan cerita cerita mistis yang ada di pos samarantau ini. Walaupun cuman sekedar cerita, sugesti yang diberikan saat melewatinya bisa membuat kaki gemetaran. Maka, jalan satu satunya adalah tetap berjalan dan tenang.

            Tidak ada yang perlu di khawatrikan ketika berjalan menyusuri hutan seperti ini. Kewarasan dan menjaga kesopanan adalah cara terbaik selamat dari bahaya luar, bahkan dari diri sendiri. Akhirnya kami bisa mencapai pos lima sebelum adzan maghrib berkumandangan, dan gerimis mulai membubuhi diri kepermukaan gunung Slamet.

            Melihat kondisi fisik kami yang sepertinya butuh istirahat, kamipun memutuskan untuk menginap atau nge-camp di pos lima. Dengan sisi lain, pos lima memiliki sumber air dan ini menjadi lokasi yang tepat buat mendirikan tenda. Di pos lima juga masih banyak pendaki lainnya yang bermukim.

            Bincang bincang hangat ditemani kopi yang di tonton kelip bintang menjadi pemandangan yang asyik malam itu. Dan kami berencana summit attack pada jam lima subuh nanti, dan selalu saja gagal. Pukul enam pagi dengan cahaya matahari yang mulai mencuat di permukaan bumi barulah kami berangkat.

            Di plawangan, pos sebelum puncak Surono kami menikmati pemandangan yang maha dahsyat dengan lautan awan yang menggiurkan mata. Tentunya, berfoto foto sudah menjadi kebiasaan pendaki ketika melihat hal tersebut. Walaupun beberapa diantaranya juga lebih senang menikmatinya tanpa perlu di potret.

            Tak berlangung lama, kabut mulai menutupi. Kamipun segera berjalan menuju puncak. Dingin dan Lelah mulau merasuk kedalam tubuh. Dengan tetap berjalan, tubuh akan baik baik saja (seperti itulah teori dari penulis sendiri). Semakin naik dengan suasana jalur yang terjal, kabut semakin tebal dan tak mau pergi. Bebatuan besar dan kecil yang berada di jalur perlu kami waspadai, sebab tidak ada yang tahu jika saja nanti jatuh dan menganai kami para pendaki yang sedang berada di jalur pendakian.

            Perasaan tak begitu hikmat kali ini, kabut mengganjal pendakian kami. Karena jarak pandang yang cukup tebal, kamipun berusaha menjaga jarak agar tetap bersama dan tidak terjadi disorientasi jalur. Tetap yakin, begitulah ego manusia yang menuntun keadaan menjadi lebih baik walaupun kondisi sudah tak memungkin lagi.

            Fase inilah yang menjadi tantangan bagi kami, apakah akan lanjut ke puncak atau memilih turun saja. Kami sempat menunggu, dan kabur tersebut masih saja menyelimuti jalur. Dengan belajar tabah dan sabar pada fase krisis seperti ini mungkin bisa menjadi jawaban nantinya. Benar saja, kabut tersebut pergi dan jalur kembali terlihat. Para pendaki yang tetap bersikukuh untuk ke puncak akhirnya bersorak bahagia. Puncak Surono-pun terlihat menanti di ujung sana. Dan pada hari itu juga, saya merasa menjadi manusia paling beruntung yang berada di atap Jawa Tengah dengan di ketinggian 3.428 MDPL.

            Begitulah adanya manusia, selalu membanggakan diri atas pencapaian duniawi yang semestinya membuatnya ragu dengan pencapaian tersebut. Sudahkah menguasa ego sendiri, ataukah ego yang sudah menguasai diri manusia. Jurnal ini menjadi perjalanan penting bagi penulis untuk kembali meredam ego dan belajar tabah dalam segala kondisi, termasuk pada fase krisis usia saat ini. Yang masih menjadi beban orangtua, dan semoga bisa menjadi lebih baik lagi.

Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes