CERPEN (Sial) - Sajak Aksara

CERPEN (Sial)


Sinar matahari sungguh sudah tidak lagi bersembunyi dibalik megahnya gunung disana. Menyinari segenap permukaan bumi dengan sinar putih yang mulai menusuk mata jika dipandang dan ditatap. Sinar putih yang tak terlihat itu menyinari jendela ruangan tidur seorang lelaki hingga menusuk matanya. Matahari sedang membangunkan seseorang dipagi yang tak lagi bias disebut sebagai pagi.

            Mata lelaki itu masih saja tertutup rapat dengan sedikit dihiasi butiran belek yang berwarna kuning keputihan dan sedikit cair, mungkin akibat terkena sinar matahari tajam. Mulut yang terbuka menganga hingga gigi depannya sangat tampak jika dilihat dari jendela kamarnya. Dipinggir bibir itu juga telah dihiasi aliran air yang mengalir dari dalam mulutnya. Air itu telah lama mengering dan membentuk garis putih di pinggir bibir lelaki itu. Bukan hanya di pinggir bibirnya, namun pada bantul yang ia tiduri juga ada corak pulau yang tidak beraturan, seperti pulau irian yang ingin memisahkan diri.

            Karena ketajaman matahari yang membidik mata lelaki itu melalui jendela karma, mata yang sedari tadi tertutup menjadi sedikit terbuka dan menilik keluar. Apa yang sedang menyinari matanya, ataukah ini sinar kehidupan, bukan, ini adalah sinar matahari yang membangunkannya.  Sekejap saja dia terkaget dan langsung membuka mata dengan lebar tanpa pemanasan sebelumnya. Wajahnya terlihat kusam dan kekusaman itu sungguh terlihat dari raut wajahnya yang terbangun. Sedikit berminyak pada lapisan wajah itu.

            Dia melirik tajam pada jam alarm miliknya di samping ranjang. Dia mungkin serasa kesal kenapa harus dibangunkan oleh matahari yang sudah terik dan bukan alarm yang sudah dia stel agar segera bangun. Namun apa daya ternyata alarm itu sudah tidak berfungsi lagi alias baterainya perlu dibelikan yang baru.

            Matanya memerah seperti banteng spanyol yang marah akibat tak mendapatkan target si baju merah. Kemudian dia bergegas kekamar mandi untuk mengguyur badannya dengan air ; melakukan ritual membersihkan badan. Dia telah sadar dari lamunan mimpinya dan benar benar telah terbangun dari tidur. Kini dia terlihat rapi seperti akan melakukan sebuah perjalanan. Ya, hari ini dia harus berangkat ke Kota malang dari Jogja karena ada acara pernikahan temannya.

            Dia terlihat mencari sesuatu di kamarnya. Yang dicari adalah tiket bis yang telah di belinya kemarin sore. Jika hilang maka dia tidak akan berangkat ke kota malang. Atau opsi lain adalah membelinya kembali, namun uang tak lagi memadai; belum lagi uang makan untuk kesana. Tiket itu belum saja dia temukan, dia bisa telat gara-gara alarm yang tidak membangunkannya di pagi buta. Malah sinar matahari yang membangunkannya dengan tusukan tajam di mata. Jika saja alarm membangunkannya pagi tadi, maka dia tidak akan seresah saat ini. Sebab perasaannya kini telah bercampur rasa marah dan gelisah disebabkan tiket yang hilang dan alarm yang mati.

            Setelah membongkar isi kamar, ternyata tiket itu ada disaku bajunya di belakang pintu. Tanpa membereskan lagi kamar, dia langsung saja berlari menuju terminal bis yang berada sekitar seratus meter dari kosannya; dia adalah mahasiswa yang harus hidup dalam kosan berantakan. Kereta terlihat berjejer rapid an akan berabgkat. Dia kembali melihat tiket miliknya, pada bis apa dan jam berapa dia akan berangkat ke kota malang.

            Seseorang dengan perut sedikit buncit mengumandangkan teriakan bahwa bis dengan tujuan malang akan segera berangkat dan bis itu berada paling depan, sedangkan dirinya ada pada jejeran bis terbelakang. Dia kemudian berlari terbirit birit takut ketinggalan bis. Berlari seperti bocah yang dikejar anjing di tengah malam. Benar saja dugaannya, bis itu telah berangkat dan beranjak meninggalkan terminal. Dia lari semakin kencang saja bak pelari asian games demi meraih emas. Itulah yang dilakukannya untuk mengejar bis situ.

            Kemudian dia berteriak kencang pada bis itu agar berhenti menunggunya. Namun tak didengar oleh supir ataupun penghuni bis, sebab suara bis terlalu bising dari teriakannya. Seoarang knek bis melihatnya berlari dan kemudian memerintahkan supir untuk berhenti sejenak. Sebuah syukur pada orang itu. Diapun segera naik kebis dengan mulut terengah-engah dan tas hitam dipunggunya. Semua orang memandanginya seperti memandangi maling ayam yang kedapatan mencuri di tetangga sebelah. Dia tidak menghiraukan tatapan mata itu, tetap berjalan dan mencari kursi yang kosong.

            Di bangku tengah ada kursi yang kosong. Dia hendak duduk disitu namun yang dilihatnya adalah bencong dengan lengan kekar tak sekekar miliknya. Bencong berwajah kriminal itu menarik tangannya agar duduk bersamanya. Oh tidak, jangan sampai itu terjadi. Dia menghempaskan tangan bencong dan kemudian bergegas kebelakang bis. Disana juga ada bangku kosong satu lagi. Bagaimana jadinya jika dia duduk berdampingan dengan bencong tadi, mungkin keperjakaannya akan hilang direnggut. Mugkin.

            Di ujung bis dia duduk bersama sorang pria dengan bau badan yang sedikit semerbak dan dapat membunuh ikan di lautan dasar jika menciumnya. Itulah yang harus dirasakannya saat ini. Menahan segala aroma itu agar tetap bernafas dengan baik dan jangan sampai aroma itu membiusnya. Bis kembali berjalan sejak dia menginjakkan kaki di atas bis tua itu.

            Di tengah perjalan bis biasanya berhenti untuk mengambil penumpang lagi, kemudian beberapa pengamen masuk kedalam bis untuk menanyikan sebuah lagu, walau sebenarnya tak memiliki nada. Dua orang pengamen telah berada pada bis yang dia tumpangi, bernyanyi dengan lagu yang liriknya tak begitu dihapalnya. Dia hanya diam dan memandang keluar jendela bis. Dia lebih memilih melihat pepohonan diluar sana disbanding haru mendengarkan pengamen itu bernyanyi dengan nada yang merusak telinga; walau sebenarnya suara mereka tidak begitu jelek, mungkin bisa menembus babak eliminasi Indonesian idol.

            Setelah bernyanyi beberapa lagu, kemudian seorang lagi dari pengamen itu berjalan di tengah bangku bis sambil menadahkan topi dengan terbalik. Ini adalah ritual untuk meminta sumbangan pada pemirsa yang berada dalam bis. Dan ini bukanlah acara sumbangan buat yatim piatu, tidak sama sekali. Orang-orang akan memberikan dengan seikhlasnya dan lebih memilih uang receh untuk diberikan daripada harus memberikan dengan benar-benar ikhlas. Sebab jika ikhlas tidak akan memberikan sebuah receh dengan tulisan dua ratus rupiah atau lima ratus rupiah. Jika ada yang memberikan selembar kertas, mungkin disakunya sudah tidak terdapat lagi sebuah receh. Dan itupun selembaran uang kertas bergambar patimura yang memegang parang. Mungkin orang-orang menyebutnya dengan uang parang.

            Dia kemudian melirik pada pengamen itu yang semakin dekat dengannya. Semua orang terlihat memberikan sumbangan. Dia semakin gelisah, sebab dia tidak lagi memiliki sebuah receh ataupun uang parang. Semuanya bernominal besar. Tanpa berpikir panjang, dia kemudian berpura-pura tidur dengan pulas sebelum dirinya dilihat oleh pengamen itu.

            Hawa seorang pengamen semakin dekat dan langkah kaki itu semakin mendekati dirinya yang sedang drama tidur. Suara minta sumbangan dari pengamen mulai terdengar berada tepat disampingnya. Berarti setelah ini adalah gilirannya untuk memberikan sumbangan. Matanya semakin ditutup rapat saja demi menghindari sumbangan liar (keluh seorang anak kosan). Tak lama kemudian suara itu sudah tidak ada lagi. Sepertinya pengamen itu sudah pergi.

            Inilah saatnya untuk membuka mata dan berhenti drama tidurnya. Mata dibuka dan mata yang lain telah menatap tajam penuh harapan padanya. Ternyata pengamen itu masih berada tepat didepannya dengan menadahkan topi terbalik ke arahnya. Tatapan pengamen itu sungguh seperti singa kelaparan mengharapkan imbalan. Dia kemudian sedikit bingung harus berbuat apa. Tangan kaku dan kaki gemetar, dan pada akhirnya dia memberikan selembar kertas berwarna merah tua; uang sepuluh ribu. Daripada harus ditatap seperti itu mending dia merelakan uang jatah makannya untuk pengamen itu.

            Wajah berbinar bahagia nampak jelas terlihat dari raut wajah pengamen itu setelah mendapatkannya. Sedangkan wajah lesuh dan kesal sangat terlihat dari wajah lelaki itu yang harus merelakan kepergian uangnya di renggut oleh pengamen tak punya hati (gerutu). Pengamen itu terlihat turun dari bis dan penumpang yang lain masuk. Dan bis kembali berjalan menuju kota malang.

            Tak ada lagi yang harus diperbuat. Daripada harus tidur dengan drama mending tidur beneran dan menunggu bis sampai tujuan. Tas hitam miliknya dipeluk erat dan kemudian mata ditutup untuk menyegerakan tidur. Walau hati sebenarnya sedang resah dan marah apa yang telah menimpanya sejak matahari membangunkannya.
Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes