Melancong ke Bali Naik Bus Gunung Harta dari Surabaya - Sajak Aksara

Melancong ke Bali Naik Bus Gunung Harta dari Surabaya

Liburan ke Bali dari Surabaya

Liburan ke Bali memang selalu jadi daya tarik, apalagi buat kamu yang suka traveling hemat. Tapi kali ini, pengalaman pertama saya melancong ke Bali. Saya berangkat dari Surabaya di bulan Ramadhan 2025, dengan kondisi berpuasa penuh dan cuaca yang cukup terik. 

Tujuannya simpel: transit sebentar di Bali sebelum lanjut ke Kendari. Sayangnya, setiap perjalanan yang saya lakukan selalu ada cerita menarik yang bisa saya bagi lewat blog ini.

Dari awal, saya sebenarnya sudah memperhitungkan biaya perjalanan dari Banyuwangi ke Bali. Soalnya, sempat terpikir untuk naik kereta dulu, lalu lanjut menyeberang pakai ferry.

Tapi akhirnya pilihan jatuh ke bus malam Gunung Harta dari Surabaya langsung ke Denpasar. Hitungannya lebih praktis, walau ternyata tantangannya jauh lebih besar dari yang dibayangkan.

Baca juga:

Bus Gunung Harta dan Drama Jalur Pantura

liburan ke Bali dari Surabaya

Perjalanan saya ke Bali dimulai dengan sedikit kepanikan. Jadwal keberangkatan bus Gunung Harta dari kantornya di Jl. Makam Peneleh, Surabaya adalah pukul 14.00 WIB, dan saya hampir ketinggalan karena sempat ketiduran di kos teman. 

Untungnya, saya masih sempat tiba di kantor Gunung Harta beberapa menit sebelum bus berangkat. Deg-degan? Jelas. Tapi saya tetap semangat karena ini bagian dari petualangan.

Bus Gunung Harta terkenal cukup nyaman, dengan kursi rebah, AC dingin, dan suasana kabin yang bersih. Awalnya saya memperkirakan perjalanan akan memakan waktu sekitar 13 jam menuju Denpasar. Namun, rencana itu berubah total ketika kami terjebak macet parah di jalur pantura.

Selama hampir 8 jam, bus nyaris tidak bergerak karena padatnya arus kendaraan. Kondisi ini tentu sangat menguras tenaga, apalagi saya sedang menjalani ibadah puasa. Tidak ada pilihan lain selain bersabar dan berusaha menikmati perjalanan sebaik mungkin. 

Saya banyak menghabiskan waktu dengan tidur-tidur ringan, mendengarkan musik, dan sesekali membuka jendela untuk menghirup udara luar.

Total perjalanan yang seharusnya hanya 13 jam pun membengkak menjadi 22 jam penuh. Sampai di Bali, tubuh rasanya remuk, tapi saya tetap bersyukur karena akhirnya tiba dengan selamat. Hal ini bukan sekadar perjalanan panjang, tapi juga ujian kesabaran yang cukup mengesankan selama bulan Ramadhan.

Baca juga:

Numpang Istirahat di Borough Capsule Hostel

liburan ke Bali dari Surabaya

Setelah perjalanan panjang naik bus selama 22 jam dari Surabaya, saya akhirnya tiba di Denpasar sekitar pukul 2 siang. Tanpa pikir panjang, saya langsung check-in di Borough Capsule Hostel, sebuah penginapan yang cocok banget untuk solo traveler seperti saya. 

Harganya cukup terjangkau, hanya Rp150.000 per malam. Meski nggak dapat sarapan atau makan apa pun, fasilitas yang ditawarkan sudah cukup memadai untuk kebutuhan transit singkat.

Kamarnya bersih, rapi, dan desain kapsulnya cukup modern. Suasananya tenang, dan yang paling penting: kasurnya empuk! Sangat nyaman buat saya yang sudah kelelahan di perjalanan dan butuh tempat istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan malam harinya.

Sekitar pukul 9 malam, saya check-out dari hostel untuk menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Rencana saya selanjutnya adalah terbang ke Kendari jam 11 malam. 

Walaupun cuma beberapa jam numpang tidur dan mandi, pengalaman singkat di Borough Capsule Hostel ini benar-benar membantu memulihkan tenaga sebelum melanjutkan petualangan berikutnya. Walaupun sempat bingung cara make closed-nya hahaha.

Sore Menjelang Malam di Legian

liburan ke Bali dari Surabaya

Setelah mandi dan beristirahat sebentar di Borough Capsule Hostel, saya memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri kawasan Legian hingga Pantai Kuta. 

Sore itu, suasana cukup ramai walau tidak sepadat musim liburan. Angin pantai yang sejuk dan langit yang mulai menguning membuat suasana semakin tenang, cocok sekali untuk merenung di tengah perjalanan puasa yang melelahkan.

Tak lama, saya memutuskan untuk berbuka puasa di dekat Pantai Kuta. Pilihan jatuh ke sebuah gerobak bakso sederhana yang mangkal di pinggir jalan. Harga satu porsi hanya Rp15.000, cukup murah untuk ukuran kawasan wisata seperti ini. 

Awalnya saya sempat ragu apakah bakso ini halal atau tidak, karena di sekitar Kuta dan Legian memang banyak penjual makanan non-halal. 

Namun setelah melihat tulisan "Bismillah" yang tertera jelas di gerobak baksonya, saya pun merasa tenang dan memutuskan untuk menyantapnya. Rasanya sederhana, tapi nikmat karena dimakan saat lapar dan haus seharian.

Selesai makan, saya menyadari satu hal: tak terdengar suara azan magrib. Saya menengok kiri-kanan, namun tak menemukan masjid di sekitar area Legian. 

Situasi ini cukup membuat saya bingung, karena biasanya suara azan menjadi penanda utama waktu berbuka. Di kawasan wisata seperti ini, memang sulit menemukan tempat ibadah, jadi saya pun hanya berdoa dalam hati dan melanjutkan perjalanan.

Sebelum menuju bandara, saya sempat mampir sebentar ke Circle K untuk duduk sejenak dan memesan kopi dingin. Tempat ini sering jadi pilihan cepat bagi wisatawan yang ingin beristirahat sebentar. 

Setelah kopi habis, saya kembali ke penginapan untuk mengambil barang dan bersiap menuju Bandara Ngurah Rai. Penerbangan ke Kendari dijadwalkan pukul 23.00 WITA, dan saya tak ingin ketinggalan pesawat setelah perjalanan darat panjang yang cukup melelahkan.

Momen singkat di Legian ini menutup hari saya dengan tenang. Walau terlihat sederhana, momen ini justru meninggalkan kesan yang begitu kuat. 

Dari sini, kamu bisa menyadari bahwa inti dari sebuah perjalanan bukan terletak pada kemewahan destinasi, melainkan pada arti dan cerita di balik setiap langkah yang kamu ambil.

Perjalanan saya ke Bali kali ini memang penuh cerita, mulai dari macet total di jalur pantura sampai akhirnya bisa menyusuri Legian dalam kondisi lelah dan berpuasa. 

Tapi jujur saja, liburan ke Bali saat bulan puasa bukanlah keputusan yang ideal, apalagi buat yang sedang serius menjalankan ibadah Ramadhan.

Kalau kamu datang ke Bali, bukan cuma tubuh yang diuji oleh cuaca dan aktivitas, tapi juga godaan suasana yang penuh hiburan. Kalau niatnya nggak lurus, liburanmu bisa saja jadi kurang berkah.

Namun, kalau kamu tipe pelancong yang justru suka suasana sepi dan tidak terlalu ramai turis, bulan puasa bisa jadi momen terbaik untuk menikmati Bali dari sisi yang lebih tenang. Jalanan tidak terlalu padat, dan penginapan pun relatif lebih murah.

Baca juga:

Kalau kamu tertarik dengan cerita perjalanan lain seperti ini, jangan ragu buat mampir ke Saksara. Di sana saya berbagi kisah perjalanan lainnya yang mungkin bisa jadi inspirasi buat rencana liburan kamu berikutnya.

Share:

Posting Komentar

Review Buku Kota-Kota Tanpa Masa Lalu oleh Albert Camus

Pernahkah kamu merasa ingin menyelami pikiran seorang filsuf yang mampu menggambarkan kehidupan dengan cara sederhana, tapi mendalam? Maka b...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes