Hilang Ditengah Badai Lautan - Sajak Aksara

Hilang Ditengah Badai Lautan


Kapal yang hilang ditengah lautan
Badai Ditengah Laut

Sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya, semua terjadi begitu saja. Secara tiba tiba datang menerpa dan hampir melahap kapal kayu ke dalam lautan. Hanya ada rasa takut dan gigilan yang terkatup katup dari rongga mulut di atas kapal.


Empat manusia yang hampir hilang dan mati di telan derasnya badai di tengah lautan, pikiran sudah dilanturkan dengan kematian. Tidak dengan yang lain, semua rasa takut dan ingin bertaubat adalah salah satunya jalan yang berusaha dihadapi saat ini. Lantunan dari bait ayat ayat suci Tuhan di dendangkan dalam sanubari, supaya selamat dari badai ganas ini.


Jika ingin pergi kembali di tengah badai seperti itu, rasa rasanya akan kupikirkan beribu kali. Tidak akan ku ulangi dalam lubang yang sama. Peduli badai, kuasa Tuhan tidak ada yang tahu, tiba tiba saja akan membunuh siapapun. Segerakan mental dan fisik yang kuat setelah ini.


Baiklah, akan aku ceritakan pengalaman yang pernah kurasakan. Yang sebagian orang mungkin akan menganggap hal ini remeh dan biasa saja. Tapi sebagian lagi akan mengumandangkan takjub dan rasa takut setelah mendengar dan merasakannya langsung.


Sebelumnya, jika kamu adalah orang yang pernah berlayar di antah berantah lautan. Maka cerita ini hanya akan mengingatkanmu dalam beberapa ingatan yang hilang. Dan apabila kamu adalah orang yang tak pernah bersetubuh dengan ganasnya lautan, dengarkan baik baik dari setiap kalimat ini. Kamu akan menemukan sedikit perih dari rasa sakit nelayan selama ini.


Apabila ku ingat ingat kembali, mungkin ceritanya akan seperti ini;


Libur panjang sekolah telah datang, begitu juga dengan cuaca hari ini. Awan awan datang beriringan menyambut hari liburnya anak anak sekolah. Ini akan menyenangkan jika disambut dengan tawa riang dari pelataran bibir pantai yang begitu cerah.


Karena sekolahku adalah sekolah swasta, maka liburku sedikit lebih kurang panjang dari sekolah anak anak negeri di kampung. Usiaku waktu itu adalah 16 tahun, seorang remaja yang sedang mengalami masa pubertas dan rasa ingin tahu perihal asmara seperti orang orang dewasa.


Beda hal dengan diriku ini, tidak ada hasrat untuk menuju hal itu. Masa pubertasku dihabiskan dengan peluh dan keringat,. Entah seperti apa rasanya dulu menjadi anak pesisir yang harus mengasingkan diri demi sebuah harapan pada ilmu yang lebih baik. Sehingga tidak ada lagi pembodohan di tengah keluguan masyarakat kampung.


Liburku tidak begitu panjang, hanya berjarak empat belas hari menuju sekolah kembali. Karenanya akan aku manfaatkan liburan kali ini untuk kembali menepikan badan di atas lautan yang terbentang luas tepat di belakang rumah ayahku. Suatu keberuntungan yang kudapatkan adalah bahwa nenekku merupakan nelayan yang sering menyeberangi beberapa pulau di perbatasan antara tenggara dan tengah.


Bukan sekedar melakukan penyeberangan saja, tetapi beliau melakukan transaksi beli ikan disana. Yang kemudian nantinya akan kembali di jual di kota tenggara, beliau juga memiliki tempat alias rumah di suatu pulau kecil di tengah lautan antara Tenggara dan Tengah. Sebelum kelahiranku di dunia ini, beliau sudah lama menjalankan profesi tersebut. Dialah seorang nenek yang kubanggakan selama ini. Pelaut tua yang tak takut miskin, apalagi termakan gengsi.


Selama belasan tahun berlayar dengan kapal, yang menjadi teman setianya adalah anak laki lakinya sendiri; adik dari ibuku. Tubuh yang cukup ideal untuk dikatakan sebagai nahkoda. Yap, dia adalah nahkoda di kapal kayu kecil milik nenekku. Kapal yang hanya berukuran dengan lebar hampir dua meter dan panjang tujuh belas meter, kurang lebih seperti itu.


Dan aku berencana ikut mereka ke lautan kembali, bersama satu orang sepupuku; ia adalah laki laki. Sebelum fajar menyingsing dari arah timur, kami berempat sudah bersiap siap berangkat untuk menuju lautan Tengah. Dengan berbekalkan nasi putih dan ikan asin yang sudah digoreng sebelumnya. Kami siap untuk membelah lautan di depan sana.


Akan membutuhkan sekitar enam jam lamanya berada di atas kapal sebelum sampai tujuan. Mesin mengerang dan asap mengepul melalui corong besi dari samping kapal. Suara perkampungan hening di telan dendangan suara kapal mesin yang merontah membawa kapal kayu ini.


Awan awan membubul tinggi dengan beberapa corak biru warna khas langit. Sepertinya samudera sedang bersahabat dengan kami pagi ini, laju kapal beberapa kali menebas ombak di kepala kapal. Debur debur ombak yang selalu membuatku rindu pada lautan, dengan warna hijau dan berubah menjadi biru pekat ketika dalam lautan mulai tak terhingga dibawah sana.


Sekarang, tidak ada lagi warna itu. Yang ada hanya warna coklat keruh dan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi di ujung pantai itu. Sebuah pembangkit listrik telah lama dibangun sejak aku masih ada dibangku SD. pembangkit itu memberikan daya listrik kepada kami, dilain sisi menenggelamkan hal yang begitu dirindukan dan didambakan. Bagaimana jika anak anakku nanti tidak bisa lagi melihat jernihnya lautan di bibir pantai.


Lamunan seketika buyar, ombak yang tadinya tidak begitu besar sekarang bergulung mulai lebih besar. Disambung dengan angin yang tidak lagi menghempaskan rambut poni milikku, tetapi angin tersebut sudah mampu menerbangkan tenda kapal kami. Langit mulai menggelap, awan awan hitam berkumpul tepat di atas kami, pertanda hujan deras akan turun.


Perasaanku mulai tidak enak ketika suasana ini datang seketika. Semua lamunanku hancur akibatnya, tidak ada lagi penyadaran mengenai rehat kali ini. Ombak kanan dan kiri kapal terus bergelombang hebat dan besar. Kapal kecil ini mulai bergoyang hebat, sederet ombak mulai menghantam tubuh kapal. Getarannya mengalahkan pukulan karang di tepi pantai. Keras, keras sekali. Dan rasanya kapal ini mau pecah.


Hatiku mulai gundah gulana dan takut sudah menghantuiku sejak datangnya angin ini. Sepertinya ini bukan hujan deras, sebentar lagi badai akan segera datang. Degup degup jantung bisa kurasakan di atas kapal ini. Dan baru kali ini, pandangan dari mata nenekku sedang merasai ajal sedang mendekatkan diri padanya. Ah tidak, rasanya ingin segera aku berada di daratan.


Guncangan ombak yang menghantam kapal semakin keras, ombak ombak diluar sana menggulung hebat dan sesekali pecah tepat di samping kapal kami. Airpun masuk dan segera mungkin kapal ini akan tenggelam ke dasar lautan. Teriakan terdengar dari sang nahkoda kapal, ia memerintahkan untuk menguras air dan tidak hanya berdiam diri saja.


Diantara kami berempat, hanya dia yang tak terlihat takut. Atau jangan jangan dia hanya berpura pura tegar dengan apa yang sedang terjadi. Ia sibuk melihat sekitar dan harus kemana. Kemudi di pegang keras dan kepala berpikir keras agar bisa keluar dari badai ini.

Tidak berlangsung lama, rintik rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Dan pergolakan ombak dan angin mulai sedikit mereda. Walau redanya pun mampu membuat seseorang mabuk kapal, bahkan orang yang sudah terbiasa pun akan mabuk dengan ombak ini.


Tidak mau terlalu lama dalam genggaman rasa takut, aku berusaha menidurkan diri di atas kapal. Yang terasa hanya guncangan dari ombak dan sekujur tubuh sudah basah dan kalap oleh air laut. Mau bagaimanapun juga, aku harus tetap bertahan sampai darat ditemukan. Sedang nenek dan sepupuku terlihat pucat pasih akibat badai tadi. Yang kulihat dari mata sepupuku hanyalah rasa penyesalan akan hal ini, mengapa harus ikut. Dan itulah yang kurasakan saat ini.


Belum berselang setengah jam berlalu, langit kembali gelap segelap gelapnya. Angin meniup kencang seluruh lautan di sekitar kapal. Guncangan dahsyat kembali kami rasakan, tapi kali ini firasatku jauh lebih tidak tenang. 


Sejauh mata memandang di sekeliling hanya ada deburan ombak dan lipatannya yang memutih dan memecah satu sama lain. Sedang angin deras bersama gerimis jatuh tepat di atas lautan. Mata mata dari kami hanya bisa melihat pergolakan lautan yang sedang menghambur siapa saja yang berada di atasnya. 

Tidak ada lagi pandangan yang bisa dilihat oleh mata. Hanya ada gelap dan gelap. Jiwa menjadi takut mati, dilain sisi kami sepertinya sudah pasrah dengan keadaan ini. Tinggal menunggu kapal kecil ini di tenggelamkan oleh besarnya ombak yang sedang menggulung samudera. 


Ombak dengan seukuran rumah berlantai tiga hampir saja menggulung kapal kami, rasanya jantung juga ikut bergolak dengan ini. Untung saja sang nahkoda mampu menguasai kapal dan tahu harus bagaimana ketika keadaan genting seperti ini haru berbuat apa. Tidak ada yang tahu dengan pikirannya. Kapal dilambatkan seketika untuk sekedar mengikuti alur badai ini.


Tak jauh dari itu, nahkoda menemukan pelampung di tengah lautan yang terikat di dasar laut. Kemudian kapal dihentikan dahulu dan diikat di tengah seperti ini. Membiarkan kapal terombang ambing oleh ganasnya badai. Bagaimana tidak, kami sudah tidak tahu lagi dari arah mana kami datang dan akan kemana. Di Sekeliling hanya ada kegelapan yang mengganas.


Dari mata kami hanya memancarkan takut dan gulana perihal kematian. Bagaimana jika kami tenggelam disini, siapa yang akan menemukan kami, bagaimana dengan keluarga kami, bagaimana dengan nasib kami, bagaimana dengan dosa dosa yang masih banyak ini, dan bagaimana bagaimana lainnya yang sedang menghantam keras kepala kami.


Sebuah keajaiban dari Tuhan datang menjemput kami, tidak menunggu sampai berjam jam. Ditengah lautan ini kami hampir menyerah dan tiba tiba saja langit mulai terbuka. Angin angin ganas mulai sedikit tenang dan ombak ombak berukuran ganas sudah tak seganas pada saat badai tadi.


Aku kira kami akan hilang di tengah badai lautan ganas ini, ternyata hidup masih bersimpati dengan ini. Tak jauh dari tempat kami, di ujung sana terlihat pulau yang sepertinya kami kenal. Yap, pulau itu adalah satu pulau yang pernah dijadikan oleh nenekku sebagai kediamannya untuk membeli ikan milik nelayan sebelum akhirnya berpindah sedikit jauh dari itu.


Pada rumah kecil di atas lautan kami beristirahat sebentar untuk menenangkan diri dari peristiwa tersebut, sebelum melanjutkan kembali perjalan ke tempat baru nenekku yang ada di seberang pulau ini. Hanya berjarak sekitar dua jam atau kurang dari itu.


Barulah tersadar, jika hari ini adalah hari berpuasa ramadhan. Baru saja mengingat, perut mulai mual dan sederet makanan kumuntahkan ke atas laut. Dan akhirnya puasaku menjadi batal, tidak apalah. Tuhan juga akan mengerti dengan keadaan ini.


Ini adalah hanya salah satu dari cerita yang kusampaikan padamu, agar kau mengerti betapa kerasnya para nelayan mencari ikan di tengah lautan yang tak pernah tahu seburuk apa disana. Jika kau belum mengerti dengan ini, cobalah kau persiapkan diri dan kuajak pergi bersama mengarungi lautan tersebut. Akan kuperlihatkan sebesar apa ombak yang kuceritakan itu, biar kau percaya bahwa aku bukanlah pembohong seperti yang dikabarkan media media di televisi mengenai manusia berdasi itu. Jangan kau samakan aku dengannya, aku menceritakan seperti apa yang kurasakan, bukan apa yang kudambakan.


Sebuah kisah kecil di pertengahan tahun 2013, tepat pada bulan Ramadhan.


Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes