Kembara | Bagian Ketujuh - Sajak Aksara

Kembara | Bagian Ketujuh

Pengembaraan Menuju Telaga



Juli Yang Pilu


Serabut kata kata keluar dari rekahan anak anak di pesisir pantai tatkala mereka datang bergerombolan dengan barang barang mewah yang menempel di tubuhnya. Anak anak terkesima sejenak memandang hal yang tak pernah dilihatnya itu. Manik manik keren, serta pakaian yang begitu rapih terpejeng di jalanan raya berlubang. 


Obrolan tidak lagi perihal ikan ikan hasil pancingan sore kemarin. Jauh dari itu, sekarang di kepala hanya kemewahan dan rasa iri mulai tumbuh di jiwa mereka. Bisingnya deru ombak siang malam hilang ditelan ramainya penasaran dengan kapitalis di semenanjung kota barat. Akhirnya, beberapa diantaranya pergi meninggalkan demi perjalanan tak tentu.


Tidak, karang karang berteriak dari bawah dasar lautan paling dalam. Menyerukan kepulangan dari sana, tak usah menjemput kebinasaan untuk diri sendiri. Kapal kapal di bibir pantai kehilangan harapan bersama corak corak lumut. Samudera menangis pilu di tengah badai yang sedang mengamuk akibat datangnya ego di jiwa jiwa anak manusia.


Beribu-ribu tahun lamanya menahan tangis, malam ini adalah hari terakhir pada pertahanan itu. Tangis tanpa air mata telah membiarkan kepergian jiwa yang tenang dan damai di bawah naungan semesta. Tidak ada lagi tawa dan senyum dari balik dinding kayu. Tidak ada lagi terjemahan atas ayat ayat senyum di bawah pohon kelapa. Ia telah pergi dan melepas jiwanya di bawah naungan ego.


Bongkahan es batu akan bertahan selama mungkin di bawah terik matahari jika hanya itu syarat agar ego berpulang pada tempatnya. Jika saja air mata tak pernah keluar, kesembaban di perairan tak akan pernah bergemuruh dengan riuh dan menumbangkan kapal kapal nelayan di tengah lautan lepas.


Ternyata Juni telah menitipkan pilu setelah gerimisnya pulang dari peribuan. Akhirnya diantara anak manusia menjadi sedikit pelupa bahwa bertahan dari egonya dunia adalah sesuatu yang amat penting ketimbang bertahan dengan pilu di atas pembaringan kasih. Biarkan saja tergerus masa, dengan sendirinya luka luka akan segera sembuh seutuhnya. Sembuhkan diri dengan do’a do’a dari langit.


Menuju jalan panjang, 16 Juli 2020.


Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes