Kembara | Bagian Kedua - Sajak Aksara

Kembara | Bagian Kedua

Pengembaraan Menuju Telaga


Juni Berkunjung


Sejengkal dari jalan menuju penghidupan, anak manusia menangisi dunia setelah keluar dari gelapnya rahim ibu. Mencoba menghirup nafas pertama, dan tangis memecah hening di pagi hari. Sesaat juni datang menerjang ibu dengan susah payah dan kesakitan. Betapa tidak, darah tercecer akibat robekan yang dibuat oleh tangis anak manusia di permukaan bumi.


Wajah wajah dari mereka berseri dengan kegeringan, fajar menyingsing naik menusuk mata dengan warna kuning pekat dan berakhir putih terik mematikan. Begitu juga dengan anak manusia ketika mulai mengenal abjad dan huruf huruf yang dibuat manusia sendiri. Tawa riang mengiringi langkah pertama dan kedua, begitu pula langkah berikutnya. Tapi tidak dengan langkah yang mulai menjauh dari rahim ibu.


Berpuluh-puluh tetes air mata dan rasa sakit di pinggang, ditinggal kemudian hari ketika mata sudah mampu menerjang panasnya matahari di siang bolong. Rasa congkak dan kebiadaban mulai tumbuh dengan sendirinya, tali tali senyum yang sempat terulur panjang harus putus dan hilang ditelan terjangnya jurang perjalanan hidup. Mata sembab, hati menjadi luka, akal lupa pada jiwa yang menangis di waktu kecil.


Berpura pura menjadi lupa, seakan hidup tak pernah membutuhkan manusia lainnya. Wanita yang disebut ibu sudah menjadi debu di dalam teriakan sunyi sajadah di seperempat malam. Pada malam berikut, hanya ada pengharapan pada perubahan, dan kata maaf menjadi musuh alami akal. Tubuh berdiri kokoh di atas penampungan bumi, berjalan dengan iringan tawa jahil. Sedang Juni melupa pada kunjungan pertama.


Beratus ratus kilometer jaraknya, dinding waktu di tembus oleh doa panjang milik ibu. Sedang jalan berjeruji terus memaksa kaki merobek waktu di tengah bisingnya rindu di kepala. Musim penghujan telah datang mengunjungi, tidak juga berpulang pada yang seharusnya. Waktu terus saja menyita hari hari dengan kesibukan dunia, tidak dengan sajadah ibu yang jauh disana.


Puing puing air jatuh seketika melumuri wajah, bukan karena cengengesan. Tetapi waktu telah meniduri rindu sepanjang malam, dan sunyi datang di ruang kosong membentur kedua bola mata. Sesenggukan semakin jadi, raut wajah di atas sajadah membasahi kepala. Manusia mana yang tak akan tersendu dengan rahim ibu ketika Juni datang berkunjung.


Menuju jalan panjang, 11 Juli 2020.

Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes