Gunung Prau, Awal Kebosanan | Jurnal #8 - Sajak Aksara

Gunung Prau, Awal Kebosanan | Jurnal #8

Menjadi primadona bagi para pendaki
Instagram @gunungprau_viawates


“Ada hal yang tidak bisa dilepaskan dari setiap proses perjalanan, termasuk rasa jenuh yang kerapkali menerjang diri. Dan itu adalah sebuah kewajaran, dan tidak menjadi wajar ketika terus terusan terjadi.”

            Apalagi yang harus dilakukan manakala tubuh sudah mencapai batas dan kelelahannya. Perlu rehat dan merefresh kembali otak dan pikiran dari keramaian kota. Sudah terlalu lama bising pada alunan sepoi yang mengalir berantakan pada siput telinga ini.

            Sepertinya pada jurnal jurnal sebelumnya, selalu saja pada acara yang dadakan. Atau pendakian yang tidak direncanakan sebelumnya. Penuh dengan ketidaksiapan pada hal ini. dan pendakian gunung yang satu ini bisa dibilang adalah hal yang sama dengan gunung gunung yang tidak ada perencanaan sama sekali.

            Pada sebenarnya, gunung Prau adalah gunung yang ingin sekali kujamah selama ini, sejak mengenal dan jatuh cinta dengan dunia naik dan turun gunung. Terlebih lagi gunung Prau terkenal dengan pemandangan yang disuguhkan begitu indah dan menawan bagi setiap mata anak adam.

            Gunung Prau adalah gunung termewah dan tercantik di negeri ini. bagaimana tidak Aksara mengatakan hal demikian jika tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bagi setiap pendaki yang sudah mengenal dengan dunia pendakian di Indonesia. Pasti akan mengakui keindahan gunung yang satu ini. Tidak ada satupun pendaki yang akan mengatakan jika gunung ini tidak layak dikatakan gunung termewah di Indonesia.

            Bahkan sunrise disini dijuluki sebagai golden sunrise. Dan fakta tersebut memang benar adanya. Jika gunung Prau memang memiliki keindahan sunrise terbaik se-Asia Tengggara. Bayangkan di negara negara ASEAN, hanya ada satu gunung yang memiliki keindahan tersebut. Dan itu ada di Indonesia.

            Ets, sebelum berlanjut pada seputar perjalanan Aksara di gunung ini. perkenalkan namanya adalah gunung Prau, dengan ketinggian tidak lebih dari 3000 MDPL. Tepatnya dengan titik kluminasi 2565 MDPL. Berada pada daratan Dieng, pastinya dengan suhu yang dingin. Ada beberapa jalur pendakian yang ada di gunung Prau ini. Namun Aksara melewati via Patak Banteng.

            Ok, mari Aksara ceritakan secara singkat, bagaimana bisa sampai pada gunung yang di idam-idamkan setiap pendaki ini. Di awal sudah dikatakan jika pendakian pada gunung ini berasal dari ajakan yang dadakan. Tiba tiba saja ada salah satu teman yang dulu ke gunung sumbing bersama sama kembali mengajak untuk melakukan pendakian bersama lagi.

            Awalnya penolakan terjadi pada saat itu, walau sebenarnya hanya sekedar basa basi dengan penolakan tersebut. Padahal dalam hati, ingin rasanya cepat dan ayo berangkat sekarang juga.  Dan pada akhirnya pendakian tersebut terealisasikan dengan ajakan teman.

            Pada pendakian kali ini, kami berjumlah berenam. Dua diantaranya adalah kaum hawa yang baru saja dikenali diriku ini. Dikenal pada pendakian ke gunung prau. Sedang yang lain sudah terasa bosan untuk menatap setiap mata dari mereka. Memang gunung selalu saja menjadi tempat menambah relasi, bukan saja pengetahuan dan pengalaman baru. Akan tetapi jauh dari hal itu.

            Dikarenakan kami berangkat malam dari Jogja. Maka pilihan yang tepat untuk segera sampai pada puncak Prau adalah memilih jalur tercepat. Dan tentu pilihan itu jatuh pada jalur Patak Banteng. Terbilang dengan estimasi perjalanan dari basecamp sampai pada puncak adalah dua hingga tiga jam berjalan.

            Dingin amat menusuk hingga tulang belulang manakala kami telah hinggap pada Basecamp yang dimaksud tadi. Karena ini adalah hal baru dan tempat yang terbilang baru bagiku. Berada pada dataran Dieng memang membuat tubuh akan menggigil, terlebih berada pada kaki gunungnya. Dentuman gigi atas dan bawah tidak dapat dihindari.

            Pendakian kami mulai pada pukul dua subuh, walau tubuh sebenarnya tidak menginginkan hal itu. namun waktu yang kami miliki mengharuskan hal tersebut. Mau atau tidak mau, pasti akan dilakukan juga.

            Dalam benakku, ketika mulai beranjak dari basecamp ke jalur pendakian adalah jalurnya yang santai dan landai, mengingat tinggi gunung ini hanya 2000-an saja. Tapi anggapan itu semua berubah seketika, manakala kaki dan mata menatap pada ujung jalur.

            Waw, ini pasti akan menyiksaku malam ini. yang benar saja dengan jalur ini, dari awal jalur sudah disuguhkan dengan jalur yang berbentuk anakan tangga. Dan bagi setiap pendaki pasti akan tahu bagaimana nasib dengkul ketika menitih pada jalan ini. rasanya pegal dan nafas tak beraturan.

            Ah,menyiksa diri saja aku ini, pikirku ketika sudah berada pada tengah tengah pendakian ini. rasa lelah dan kebosanan mulai meruntuhkan semangatku malam ini. bayangkan saja, rasa lelah yang ada pada tubuh mengalahkan dingin disini. Semua rasa dingin yang menembus hingga tulang sudah tidak berasa lagi ketika sudah berada dijalur ini. Benar benar membuat tobat naik gunung saja.

            Padahal setiap pendakian selalu saja disuguhkan dengan jalur yang berbeda beda, namun rasa bosan untuk tidak mendaki lagi tidak pernah muncul sama sekali. Pada saatnya bosan itu datang pada malam ini padaku, jalur Patak Banteng benar benar membuat presepsiku tentang gunung kembali berubah. Semua gunung benar benar tidak bisa ditebak sama sekali. Walau sudah disurvei jauh jauh hari.

            Keringat yang basah pada tubuh membuat kepala pusing dan berhenti sebentar sebentar. Padahal baru berjalan beberapa langkah, rasanya sudah mau mengeluh saja. Benar benar membuatku ingin segera pulang dan segera merebahkan badan. Sudah terlanjur berada pada kejatuhcintaanku ini. tidak bisa dilanggar lagi dengan dusta.

            Ketika tubuh mulai meneriakkan lelah yang teramat sangat. Tenda tenda sudah berdiri dengan kokoh dan banyak didepan mata. Kami telah sampai pada batas pendakian, kami telah sampai pada ujung gunung ini. Dan semua lelah yang tadi menyerang kaki dan tubuh kami segera lenyap dan hilang, pergi entah kemana.


            Tapi, dingin kembali menyerang. Dengan serangan yang berbeda, semakin dingin saja rasanya. Semua tangan dari kami beku dan keram. Tak bisa merasakan sentuhan sama sekali. Tak mau berlama lama diluar, akhirnya kami menyegerakan mendirikan tenda seperti pendaki lain yang sudah berada lebih dulu di tempat ini.

            Sudah tidak ada lagi cerita yang perlu kami bicarakan, hanya ada rasa kantuk dan lelah dimata. Menyegerakan tidur adalah hal terbaik saat ini, bukan yang lainnya. Walau sebelum itu, kami menyempatkan untuk menyeruput segelas kopi dan indomi untuk melepas sebagian dingin dan lapar pada perut.

            Derita belum sampai pada titik siksaannya, ketika kami tidur debu debu yang berasal dari luar tenda masuk dan mengerayapi kami. Entah dari mana debu debu sialan itu masuk kedalam tenda. Kupegangi rambutku, semuanya berdebu. Sedang yang lain masih melelapkan diri dalam mimpi, walau debu debu sialan tersebut masih memaksa membangunkan kami. Benar benar membuat tidak nyaman saja.

            Siksa masih ada lagi malam ini, badai yang dibersamai oleh debu debu menerbangkan sebagian pasak tenda kami. Hingga membuat layer dari tenda beterbangan. Diriku tak mau mengambil resiko dengan ini, kendati harus keluar dan memperbaikinya segera. Dan yang lain seolah tidak peduli dan menutup mata.

            Akhirnya kupaksakan diri untuk menembus dingin dan debu debu diluar tenda untuk memperbaiki rumah gunung kami ini. Benar saja, dua pasak diterbangkan oleh badai pada malam di gunung Prau. Membuatku harus mencari cari pasak tersebut. Dan pada akhirnya ketemu dan berhasil memperbaiki tenda kembali. Tentu dengan menahan apa apa yang menerjang diluar.

            Tidurku sangat terganggu, dan tidak ada lagi posisi didalam tenda untuk berbaring lurus layaknya orang orang yang rebahan diatas Kasur. Pada akhirnya menutup mata sambil duduk saja. Walau rasanya tidak nyaman sekali. Mau bagaimana lagi.

            Belum lagi sempat tertidur, orang orang diluar tenda sudah bergerumun dengan suara bising membangunkan pendaki lain jika matahari sebentar lagi menampakkan diri. Dan barulah tersadar jika ini memang sudah subuh. Tak mau kehilangan golden sunrise pertamaku. Segera mungkin kubawa diriku keluar dari tenda untuk melihat keindahan tersebut.

            Padahal sudah kubangunkan mereka, namun masih saja mau melelapkan diri pada tidur. Akhirnya dengan seorang diri menikmati keindahan tersebut. Tentu saja tidak benar benar sendiri, ada banyak sekali pendaki disini. Ini benar benar ramai, layaknya pasar. Bayangkan saja tenda tenda yang dibangun saling berdempetan satu sama lain saking banyaknya pendaki pada gunung ini. yang terpenting adalah keindahan didepan sana. Dan memang gunung ini terkenal dengan keramaian pendakinya.

            Sebuah syukur dan munajat pada pencipta ini membuatku selali takjub dengan apa yang disuguhkan didepan sana membuat rasa lelah sepanjang malam tadi hilang dan lenyap begitu saja. Semua suguhan pagi ini benar benar membuatku terkesima dan jatuh hati kembali pada gunung.

            Semua telah terbangun, manakala matahari telah melecit jauh ke atas permukaan. Mereka sudah menyiapkan sarapan ketika itu juga untuk persiapan turun dari gunung ini. Dan tentunya mengambil dokumentasi lewat foto menjadi hal yang wajib dan tak terlupakan sepanjang pendakian.

            Rasa bosan pada setiap hal akan selalu terjadi. Jatuh hati pada orangpun akan sampai pada titik jenuhnya ketika bosan mulai menyerang pada proses yang dilewati. Termasuk pada cintaku dengan gunung ini. Tidak ada yang abadi dengan bahagia dan senang, tidak akan berlangsung lama. Perlu jeda dengan rasa bosan untuk mendatangkan sebuah bahagia yang baru.

Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes