Gunung Semeru, Perjalanan Panjang Menuju Kematian | Jurnal #9 - Sajak Aksara

Gunung Semeru, Perjalanan Panjang Menuju Kematian | Jurnal #9

Hampir mati di puncak mahameru
pixabay.com/gunung semeru


“Jangan pernah merasa. Merasa paling, merasa lebih, merasa utuh, apalagi merasa abadi. Alam tidak pernah sebercanda itu pada manusia.”
Desember 2018

            Ada yang tidak bisa dilepaskan dari hasrat dan nafsu jalan pada diri sendiri. Melangkah pada jalur yang teramat dekat sudah menjadi hal biasa. Kini, mencoba pada hal baru, dengan perjalanan baru. Tidak ada dadakan kali ini, penuh dengan perencanaan yang teramat matang.

            Begini, berawal dari hari ulang tahun teman kala itu. pada saat kami bertiag sedang nongkrong disebuah kedai kopi. Tak ada alur yang memancing kesana, salah satu dari kami mengajak untuk kegunung tertinggi di jawa ini. alias salah satu seven summit milik Indonesia. Mau tidak mau ajakan tersebut wajib diambil tanpa perlu penolakan basa basi.

            Katanya, seluruh simaksi pembayaran pendakian dia yang akan membayarnya. Sebab untuk menebus hari ulang tahunnya nanti pada saat berada di puncak mahameru. Kami berdua hanya membawa uang untuk kebutuhan makan dan perjalanan saja. Sisanya ditanggung oleh yang ulang tahun tersebut. Katanya lagi bahwa ini adalah hadiah ulang tahun darinya untuk kami.

            Dalam tapak perjalanan ke gunung kali ini akan memakan banyak kata kata yang berujung pada kalimat panjang berbentuk novel. Bagaimana tidak, ada banyak sekali peristiwa penting yang ada didalam perjalanan ini. sebab pendakian ini mewakili seluruh rasa sakit  dan segenap penderitaan pada gunung gunung yang terjamah oleh kaki kecilku.

            Pada tulisan jurnal kali ini hanya akan menceritakan sebagian cerita penting dan teramat penting untuk dibagikan. Sebenarnya ingin rasanya diri ini menuliskan seluruhnya pada jurnal di blog ini. akan tetapi seluruh dari cerita ini telah dibingkai menjadi satu kesatuan yang utuh menjadi sebuah novel yang berjudul “Negeri Dambaan Corruption Attack” ditulis oleh Wa’u (Salah satu teman pendakian ke gunung semeru).

            Jika kalian berminat untuk membaca seluruh rangkaian cerita yang penuh dengan emosional ini, maka kalian wajib memberli buku tersebut. Bukunya hanya tersedia di https://www.guepedia.com/Store/lihat_buku/MTEwNDc=

            Marilah kuceritakan pecahan pecahan cerita yang ada pada novel itu sebagai pelaku dan aktor dalam buku tersebut.

            Siapa lagi yang tidak kenal dengan gunung megah yang satu ini. menjadi puncak dari pada dewa. Dengan julukan atap jawa dengan ketinggian 3676 MDPL. Bukan hanya itu saja, Ranu Kumbulo yang selalu menawarkan rindu dan ketagihan untuk segera kembali lagi manakala mata telah berhasil merekamnya dengan baik.

Kenakalan Di Terminal
Buat kalian para pejalan yang sudah sering menggunakan jasa bus untuk menuju gunung tujuan, maka kalian sudah tidak asing lagi dengan manusia yang bernama calo. Oknum yang satu ini memang menjadi hal yang sangat mengganggu semua penumpang, terlebih lagi bagi mereka yang tidak tahu menahu dengan hal ini. karena dalam perjalanan kali ini kami juga menggunakan jasa bus untuk ke terminal Surabaya dari terminal giwangan, Jogja. Pada saat kami telah sampai di terminal yang ada di Surabaya, seorang kondektur dari bus yang kami tumpangi mengjampiri dan meminta sejumlah uang. Katanya untuk biaya tas yang kami bawah, sebab tas gunung tersebut kami taruh dibawa bagasi.

            Rasa heranpun datang begitu saja, padahal dari awal tidak ada perjanjian untuk masalah ini. namun tiba tiba saja si brengsek itu memintai kami sejumlah uang. Dan itu terbilang cukup banyak. Mau tidak mau kamipun memberikan apa yang dimintainya. Dan barulah orang orang yang ada disekitar memberitahu jika hal tersebut adalah akal bulusnya saja. Sebenarnya sudah tidak ada biaya yang dilekuarkan lagi ketika uang tiket sudah terbayar.

            Ah, rasanya ingin kubakar kuping manusia itu. tetai keburu dirinya hanyut bersama dengan bus itu. semoga saja uang yang kami berikan menjadi berkah.

Hampir Mati
            Tragedi yang tak pernah di inginkan. Kematian hampir saja merenggut jiwaku ketika berada di tengah tengah badai gunung semeru. Tepatnya pada saat akan summit ke puncak mahameru.

            Bayangkan saja, badai dan dingin yang teramat sangat menyerang, kaki berpijak pada pasir pasir yang lembab. Sedang hanya ada celana pendek dan jaket yang tidak layak digunakan untuk pendakian. Hanya itu yang menjadi tameng ketika akan menuju puncak. Jarak pandang dihalangi kabut tebal. Pikiranku hanya ada penyesalan dan sesal yang ada. Bagaimana nanti jika aku mati ditempat ini, lalu bagaimana dengan orangtuaku disana. Sesak nafas dan gigilan pada gigi membuatku tak bisa melangkah lagi pada pijakan pasir ini.

            Hanya ada Wa’u yang terus memintaku dan menyemangati untuk terus melangkah. Padahal dalam benaknya adalah hal yang sama, tentang kematianku pada gunung ini. nafas tersendat dan rasanya ingin muntah, tersiksa sekali diri ini. benar benar kurasakan jika kematian benar benar mengitariku saat itu.

            Perlahan dan jejakan kaki di atas pasir, seseorang yang tak jauh dari kami berteriak bahwa puncak sudah digapainya. Tiba tiba saja semangat untuk hidup kembali dari saratuul ini muncul. Depakan kaki dipercepat dan rasanya masih saja sama. Sakit dan perih diperut, dingin masih menusuk saja.

            Benar saja, untuk pertamakalinya kaki ini berhasil menapaki tanah tertinggi di pulau jawa. Bukan menapaki, namun meniadakan ego dan kebersamaanlah yang membuat kami berada pada puncaknya para dewa. Tak terasa, tetesan air mara jatuh untuk pertamaklinya di atas puncak gunung. Rasa haru dan bangga tak bisa dituliskan dalam kalimat apapun. Hanya dengan rintihan tangis berlulur air mata saja yang bisa dilakukan.

            Tepat pada subuh dini hari, kami berlima terlebih dahulu tiba diatas puncak mahameru ketimbang dengan serratus pendaki lain yang masih bergelut dibawah sana. Akhirnya kami berolawat dalam sembahyang terlebih dahulu. Namun yang ada diatas sana hanya ada badai, kabut yang teramat tebal, dan dingin yang menyertai seluruh tubuh.

Maaf, cerita ini tidak bisa saya lanjutkan pada jurnal blog disini. Sebab keseluruhan isi cerita yang utuh ada pada buku Wa’u.

Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes