Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14 - Sajak Aksara

Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14

Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14


“Meredam dan menata ego tidak mudah dilakukan bagi manusia yang masih ambisi atas validasinya sendiri”

Selamat datang kembali di jurnal perjalanan gunung yang tidak begitu penting untuk dibaca, tapi penting untuk saya dokumentasikan dalam bentuk tulisan. Di jurnal ke-14 ini, saya menjajaki gunung Arjuno Welirang yang ada di Jawa Timur. Perjalanan kali ini, saya beri tema “menata ego”.

Penulisan jurnal perjalanan gunung pasti selalu mandet, tentu saja menunggu mood menulisnya (terserahlah). Perjalanan untuk pendakian gunung ke-14 ini saya lakukan pada 9 Agustus 2022 dari Jogja dengan menggunakan Bis.

Gunung Arjuno Welirang menjadi salah satu destinasi pendakian yang sudah saya inginkan sejak 2019 dan baru bisa tercapai di tahun 2022. Kali ini saya ditemani oleh dua kawan lainnya, yang artinya kami bertiga dalam pendakian ini.

Perjalanan Menuju Basecamp Sumber Brantas Malang

Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14


Dari kota Jogja, kami bertiga menggunakan bis yang terbilang sangat barbar. Bis tersebut kami gunakan dari terminal Giwangan dengan membayar 76 ribu per orang. Untuk nama busnya sendiri adalah Sugeng Rahayu.

Di sepanjang perjalanan kami seperti mengadu nyawa pada Izrail. sang supir membawa bus dengan sangat laju dan saya tidak rekomendasikan untuk Anda yang tidak ingin senam jantung. Lebih baik mencari bus yang lebih eksklusif saja.

Total perjalanan yang kami butuhkan untuk sampai di terminal Surabaya adalah 8 jam 30 menit (pada jam 12 malam). Sesampai di terminal tentu kami beristirahat terlebih dulu untuk makan dan menunggu bus lanjutan ke Malang.

Pada pukul 1 malam dari terminal Surabaya, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal Malang menggunakan bus ( 2 jam perjalanan). Di terminal Malang tersebut, kami sudah ditunggu oleh carteran angkot untuk kami bertiga saja. Terlalu banyak persinggahan yang perlu kamu lalui sebelum akhirnya sampai di basecamp Sumber Brantas Arjuno Welirang.

Menyusuri dingin dari kota malang menuju basecamp memang saya akui sangat dingin. Untuk kamu yang berencana berangkat malam seperti kami, alangkah baiknya memakai jaket. Dinginnya bikin nampol.

Ada satu hal yang membuat kami merasa ganjal ketika sudah sampai di basecamp. Dimana hanya ada kami bertiga saja yang ada di sana dan tidak ada pendaki lain dan memang waktu itu bukan hari libur.

Pagi hari, sebelum berangkat untuk memulai pendakian kami mulai tersadar jika pihak basecamp memang tidak begitu ramah kepada kami. Begini, sewaktu datang saja kami tidak begitu disambut dengan hangat seperti pada basecamp yang pernah saya datangi. Mungkin konsep keramahan dari saya sendiri terlalu sempit dan ego. Namun, sepanjang saya mendaki dan menginap di basecamp baru kali ini pendaki tidak dijamu dengan baik.

Mulai dari tidak ada teguran dan sapaan dari mereka sampai fasilitas yang diberikan. Yah, memang kami sudah diberikan suguhan persinggahan yang baik pada dingin yang malam itu. Tetap saja, egoku mengatakan ini tidak seperti umumnya basecamp pendakian yang ramah dengan pendaki. Maaf saja akan hal ini.

Perjalanan Menempa Ego Melintasi Batas Lembah

Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14


Karena dari basecamp ke pintu masuk rimba cukup jauh, setiap pendaki memang harus menggunakan pick up atau mobil bak untuk diantar sampai ke batas pendakian (tidak gratis). Nuansa alam Jawa Timur sangat terasa di sini, perasaan was-was mulai membenak ketika melihat jalur pendakian Gunung Arjuno Welirang ini.

Langkah kaki kecilku yang bercita-cita sejak lama ingin mendaki gunung megah ini akhirnya tercapai juga dengan ditemani dua teman. Ada sayatan ingatan lama yang membekas ketika menelusuri jalur ini, mirip dengan Gunung Slamet via Bambangan. Mengingatkan pada masa yang penuh rasa lelah di sepanjang pendakian. Yah benar saja, hal tersebut terjadi lagi. Sebelum sampai di pos 2, rasanya ingin menyerah saja.

Rasa-rasanya di setiap pendakian selalu seperti ini, dibentak rasa lelah dan keringat di seluruh tubuh. Detak jantung berdetak lebih kencang, sedang nafas tak karuan. Memaksa diri untuk tetap berjalan adalah cara saya untuk tetap hidup. 

Ketika duduk terlalu lama membuat saya merasa kaku dan detak jantung seakan meminta untuk dipompa kembali. Memang, berdamai dengan rasa lelah di setiap pendakian adalah hal yang tidak pernah kulakukan. Saya pasti memaksa untuk membuat badan terkesan dengan semangatku. Padahal ini adalah tindakan bodoh yang saya lakukan.

Begitu besar rasa egoku untuk menempa diri dengan rasa lelah di sepanjang perjalanan ini. Mengikat diri dengan bayang-bayang jalur yang tidak normal untuk pendaki pemula, membuat kaki semakin bersemangat untuk tetap maju. Hal ini tidak sekali saya lakukan, bahkan di pendakian pertama di tahun 2017.

Nafas tersendat dan kaki terpenggal jalur, setelah menghabiskan untuk meredam ego selama 4 jam akhirnya kami sampai di Lembah Kidang. Bibir tersenyum dan hati menyambut bahagia ketika melihat sejumlah tenda berdiri di depan mata. Siap-siap, perjalanan ini baru saja dimulai.

Baca juga: Gunung Bismo, Lebih Baik Bersiap | Jurnal 13

Menembus Batas “Alas Lali Jiwo” Ke Puncak Arjuno

Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14


Tepat pukul 4 pagi, kami bertiga memulai summit ke puncak pertama, Arjuno. Karena pendakian ini memang kami ingin menapaki dua puncak sekaligus, Arjuno dan Welirang. Seperti biasa di pagi buta, dingin tidak pernah akan berdiskusi dengan tubuh. Sedikit tidak bergerak, bisa saja kami bertiga terkena Hipotermia. Dinginnya di gunung memang bisa membunuh rasa malas di perjalanan.

Sepagi ini memang hanya ada dua rombongan yang sudah memulai summit. Satu rombongan pertama sudah berjalan lebih dulu dan kami bertiga adalah rombongan kedua untuk summit pagi ini. Satu hal yang menguak rasa penasaran saya selama ini, mengenai alas lali jiwo Gunung Arjuno yang menjadi perbincangan para pendaki. Katanya sering menyesatkan pendaki, apa memang seperti itu?

Setelah merasakannya sendiri memang suasananya lebih mencekam dari jalur lainnya, entah kenapa. Apa memang saya sudah disugesti dari awal atau memang rasa takut yang sudah bersarang lebih dulu. Setelah menembus batas hutan tersebut, sepertinya tidak ada apa-apa.

Ada sebuah istilah “bahaya di gunung hanya ada dua, dari luar dan dari diri sendiri”. Kebanyakan orang hilang memang berkasus pada diri sendiri. Yaitu ketidaktahuan akan pendakian. Asal mendaki gunung dengan kondisi fisik yang memang belum siap. Belum lagi peralatan yang digunakan tidak memadai. Alhasil, ketika lelah pikiran bisa saja membuatmu hilang.

Dengan total 3 jam perjalanan dari camp area, akhirnya saya sampai di puncak Arjuno untuk pertama kalinya. Rasanya seperti ingin tinggal lama saja. Suguhan pemandangan yang diberikan sangat mempesona. Gunung Semeru dengan hembusan nafasnya dari jauh terlihat sangat indah dan sedikit mengobati rindu di tahun 2018 waktu kesana.

Menata ego untuk bisa sampai di titik ini tidaklah mudah, mendaki bersama tiga orang dengan kekuatan fisik yang berbeda-beda sudah satu hal yang harus dibersamai. Apalagi di pendakian ini, bisa dibilang sayalah yang kurang dalam fisik. Nyatanya, dengan sedikit meredam ego kami bertiga. Rasa takut yang singgah di alas lali jiwo berhasil kami tembus. Bukan itu, tapi ego yang kami tempa di sini.

Bertemu Penambang Belerang Menuju Puncak Welirang

Gunung Arjuno Welirang, Menata Ego | Jurnal 14

Karena jarak summit ke puncak Welirang sedikit lebih cepat, kami memang memutuskan untuk ke puncak Welirang di hari kedua pendakian. Menuju puncak Welirang, memang ada satu puncak yang bisa didapatkan lagi, yaitu puncak Kembar satu yang bisa dilihat dari camp area.

Beban fisik mungkin lebih ringan ketika summit di kedua ini. Karena sudah ditempati selama satu hari lalu di perjalan, ditambah lagi dengan jalur menuju puncak Arjuno. Untuk ke puncak Welirang terasa lebih mudah. 

Tapi, untuk sisi suguhan peson tidak kalah indah. Bahkan menurut saya sendiri lebih bagus lagi sajian pemandangan yang diberikan oleh jalur menuju puncak Welirang. Sayangnya, ada satu hal yang membuat saya meneteskan air mata. Di jalur, kami bertiga bertemu dengan beberapa penambang belerang yang baru saja turun dengan gerobak mereka.

Untuk membawa diri ke gunung Arjuno saja lelahnya bikin malas, apalagi membawa gerobak dengan bongkahan belerang di atasnya. Terlihat jelas dari kerutan wajah mereka, ada keluarga yang harus dinafkahi. Sekali lagi, egoku merasa sangat rendah di depan mereka. Menarik gerobak di jalur gunung yang tidak seperti jalur umumnya, pasti lelah yang didapatkan berkali lipat.

Baca juga: Gunung Slamet, Belajar Tabah dan Sabar di Fase Krisis | Jurnal #12

Keluh kesah mengenai masalah hidup yang selama ini selalu terbesit di sepanjang malam tidak ada gunanya jika dibandingkan dengan rasa lelah yang mereka rasakan dengan gerobak tersebut. Setiap langkah kaki mereka memberikan makna yang sangat berarti bagi kami. Mengeluh pada ego tidak akan mendatangkan solusi.

Dengan total perjalan kami 3 hari dua malam untuk bisa menapaki dua puncak sekaligus, Arjuno Welirang. Pendakian ini menjadi sebuah jurnal perjalanan yang cukup panjang setelah sekian lama. Pendakian gunung Arjuno Welirang memberikan saya banyak pelajaran. Satu hal yang penting adalah menata ego diri sendiri. Sampai jumpa di jurnal lainnya!


Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes